Rabu, 19 Desember 2012

VIDEO PERILAKU MENYIMPANG

TINDAKAN PERILAKU MENYIMPANG YANG TIDAK PERLU DI TIRU OLEH PELAJAR

Pengertian Dan Teori-Teori Tentang Proses Perubahan Sosial


Pengertian Dan Teori-Teori Tentang Proses Perubahan Sosial

Pengertian Perubahan Sosial
Beberapa definisi perubahan sosial sebagai berikut.

  • Menurut Kingsley Davis
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
  • Menurut Gillin and Gillin


Perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
  • Menurut Mac Iver
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.
  • Menurut Selo Soemardjan
Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Dari pengertian-pengertian tersebut, bahwa dalam perubahan social yang berubah adalah struktur dan fungsi sosialnya. Contoh: Perubahan dalam struktur adalah perubahan jumlah penduduk, perubahan status sosial, perubahan pelapisan sosial, sedangkan perubahan dalam fungsi sosial antara lain ayah di rumah dan ibu bekerja. Di sini terjadi perubahan fungsi ayah dengan fungsi ibu.

Teori Perubahan Sosial

Ada dua teori utama mengenai perubahan sosial, yaitu teori siklus dan teori perkembangan. Kedua teori perubahan sosial itu akan dijelaskan dalam uraian berikut.
  • Teori Siklus

Teori siklus menjelaskan bahwa perubahan sosial bersifat siklus artinya berputar melingkar. Menurut teori siklus, perubahan social merupakan sesuatu yang tidak bisa direncanakan atau diarahkan ke suatu titik tertentu, tetapi berputar-putar menurut pola melingkar.

Pandangan teori siklus ini, yaitu perubahan sosial sebagai suatu hal yang berulang-ulang. Apa yang terjadi sekarang akan memiliki kesamaan atau kemiripan dengan apa yang ada di zaman dahulu. Di dalam pola perubahan ini tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas-batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Perubahan siklus merupakan pola perubahan yang menyerupai spiral seperti gambar berikut.

Pengertian Dan Teori-Teori Tentang Proses Perubahan Sosial

Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi, dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu.

Seorang filsuf sosial Jerman, Oswald Spengler, berpandangan bahwa setiap peradaban besar menjalani proses penahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Selanjutnya, perubahan sosial akan kembali pada tahap kelahirannya kembali. Seorang sejarawan social Inggris, Arnold Toynbee, berpendapat bahwa sejarah peradaban adalah rangkaian siklus kemunduran dan pertumbuhan. Akan tetapi, masing-masing peradaban memiliki kemampuan meminjam kebudayaan lain dan belajar dari kesalahannya untuk mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Salah satu contoh adalah kemajuan teknologi di suatu masyarakat umumnya terjadi karena proses belajar dari kebudayaan lain.

Kita dapat melihat kebenaran teori siklus ini dari kenyataan social sekarang. Misalnya, dari perilaku mode pakaian, dan gaya kepemimpinan politik. Sebagai contoh, dalam perubahan mode pakaian, seringkali kita melihat mode pakaian terbaru kadang-kadang merupakan tiruan atau mengulang model pakaian zaman dulu.

Dalam bidang politik, kita juga melihat adanya perubahan bersifat siklus. Sering kita melihat upacara-upacara sosial yang dilakukan pemimpin suku di zaman kuno dilakukan kembali oleh pemimpin politik masyarakat modern sekarang, misalnya melakukan upacara-upacara yang sifatnya memuja dan memelihara tradisi turun-temurun.
  • Teori Perkembangan/Teori Linier

Menurut teori ini perubahan sosial bersifat linier atau berkembang menuju ke suatu titik tujuan tertentu. Penganut teori ini percaya bahwa perubahan sosial bisa direncanakan atau diarahkan ke suatu titik tujuan tertentu. Masyarakat berkembang dari tradisional menuju masyarakat kompleks modern. Bentuk perubahan sosial menurut teori ini dapat digambarkan seperti tampak dalam gambar berikut.

Pengertian Dan Teori-Teori Tentang Proses Perubahan Sosial

Pandangan tentang teori linier dikembangkan oleh para ahli social sejak abad ke-18, bersamaan dengan munculnya zaman pencerahan di Eropa yang berkeinginan masyarakat lebih maju. Teori linier dapat dibagi menjadi dua, yaitu teori evolusi dan teori revolusi. Teori evolusi melihat perubahan secara lambat, sedangkan teori revolusi melihat perubahan secara sangat drastis. Menurut teori evolusi bahwa masyarakat secara bertahap berkembang dari primitif, tradisional, dan bersahaja menuju masyarakat modern.

Teori ini dapat kita lihat di antaranya dalam karya sosiolog Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan Max Weber. Herbert Spencer seorang sosiolog Inggris, berpendapat bahwa setiap masyarakat berkembang melalui tahapan yang pasti. Herbert Spencer mengembangkan teori evolusi Darwin untuk diterapkan dalam kehidupan sosial. Menurut Spencer orang-orang yang cakap akan memenangkan perjuangan hidup, sedangkan orang-orang lemah akan tersisih sehingga masyarakat yang akan datang hanya diisi oleh manusia-manusia tangguh yang memenangkan perjuangan hidup.

Emile Durkheim mengetengahkan teorinya yang terkenal bahwa masyarakat berkembang dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan cara hidup masyarakat tradisional yang di dalamnya cenderung terdapat keseragaman sosial yang diikat oleh ide bersama. Sebaliknya, solidaritas organik merupakan cara hidup masyarakat lebih maju yang berakar pada perbedaan daripada persamaan.
Masyarakat terbagi-bagi secara beragam atau terjadi proses diferensiasi kerja. Teori revolusioner dapat kita lihat dalam karya Karl Marx sebagai sosiolog. Karl Marx juga melihat masyarakat berubah secara linier, namun bersifat revolusioner. Semula masyarakat bercorak feodal lalu berubah secara revolusioner menjadi masyarakat kapitalis. Kemudian, berubah menjadi masyarakat sosialis-komunis sebagai puncak perkembangan masyarakat.

Max Weber berpendapat bahwa masyarakat berubah secara linier dan masyarakat yang diliputi oleh pemikiran mistik menuju masyarakat yang rasional. Terjadi perubahan dari masyarakat tradisional yang berorientasi pada tradisi turun-temurun menuju masyarakat modern yang rasional.

Bentuk-bentuk Perilaku Menyimpang Dalam Masyarakat


Perilaku menyimpang seperti penyalahgunaan narkotika, perkelahian pelajar, dan perilaku seksual di luar nikah semuanya merupakan problem sosial menyangkut hal-hal yang berlawanan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.

Masyarakat tidak menyukai tindakan-tindakan penyimpangan tersebut. Sehubungan dengan problem-problem tersebut, kuatkan mental dan iman Anda sebagai pelajar. Carilah teman yang baik, carilah kegiatan yang bersifat positif, berolahragalah agar jasmani dan rohani menjadi kuat, pelajarilah dan tingkatkan pengetahuan agama Anda masing-masing!


Bentuk perilaku menyimpang itu antara lain penyalahgunaan narkotika, perkelahian pelajar, perilaku seksual di luar nikah, dan sebagainya.

Penyalahgunaan Narkotika
Sebelum menguraikan bahaya sebagai akibat penyalahgunaan narkotika, untuk jelasnya kita awali dengan meninjau khasiat narkotika dari segi medis. Narkotika itu khasiat utama sebagai analgetika, yaitu mengurangi rasa sakit dan penenang yang hanya digunakan di rumah sakit dan untuk orang yang menderita sakit yang sudah tidak tahan lagi.

Misalnya sakit kanker atau diberikan kepada orang-orang yang akan mengalami operasi. Di samping khasiat utama seperti yang tersebut di atas narkotika juga menimbulkan efek yang disebut halusinasi (khayalan), impian yang indah-indah atau rasa nyaman. Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang menyebabkan sekelompok masyarakat terutama di kalangan remaja ingin menggunakan narkotika, meskipun tidak menderita sakit apa-apa. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi penyalahgunaan obat (narkotika).

Bahaya-bahaya yang bila menggunakan narkotika yang tidak sesuai dengan peraturan, yang timbul adalah adanya ”addiksi” = ketergantungan obat (ketagihan). Addiksi adalah suatu keracunan obat yang bersifat kronik atau periodik sehingga kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menimbulkan kerugian terhadap dirinya sendiri maupun masyarakat.

Orang-orang yang sudah terlibat pada penyalahgunaan narkotika, pada mulanya masih dalam ukuran (dosis) yang normal, lama kelamaan penggunaan obat menjadi kebiasaan (habituasi), setelah biasa menggunakan kemudian untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang lebih tinggi (toleransi). Setelah fase toleransi ini akhirnya menjadi dependensi (ketergantungan), merasa tidak dapat hidup tanpa narkotika.

Adapun gejala-gejala diri korban ketergantungan obat narkotika menurut Kuswanto menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
  1. Tingkah laku yang tidak dapat diterima oleh masyarakat yang ada di sekelilingnya, bertindak semaunya sendiri, indisipliner, sering berdusta, membolos sekolah, terlambat bangun pagi, ingin selalu ke luar rumah, menghabis-habiskan makanan di rumah tanpa mengingat anggota keluarga yang lain.
  2. Pada proses yang lebih tinggi, kenakalan meningkat sampai mau mengambil barang berharga (mencuri).
  3. Pada dosis yang tinggi penderita merasa dirinya paling tinggi, paling hebat, merasa kuat dan sanggup melakukan apa saja.
  4. Pada saat efek mulai menurun penderita sangat gelisah, merasa diancam, dikejar-kejar ingin menyakiti dirinya sendiri sampai bunuh diri atau membunuh orang lain. Reaksi demikian inilah yang dinamakan ketergantungan obat, yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat. 

BAB IV PENRILAKU MENYIMPANG

Perilaku menyimpang

Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.[1]
Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat. Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat, misalnya seorang siswa menyontek pada saat ulangan, berbohong, mencuri, dan mengganggu siswa lain.
Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant). Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang sering disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.

Penyebab

Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab penyimpangan/kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir).
  2. Faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi.
Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan beberapa penyebab terjadinya penyimpangan seorang individu (faktor objektif), yaitu
  1. Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan. Seseorang yang tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan sempurna, maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga.
  2. Proses belajar yang menyimpang. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang karena seringnya membaca atau melihat tayangan tentang perilaku menyimpang. Hal itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan karena proses belajar yang menyimpang. Karier penjahat kelas kakap yang diawali dari kejahatan kecil-kecilan yang terus meningkat dan makin berani/nekad merupakan bentuk proses belajar menyimpang.
  3. Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial. Terjadinya ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Hal itu terjadi jika dalam upaya mencapai suatu tujuan seseorang tidak memperoleh peluang, sehingga ia mengupayakan peluang itu sendiri, maka terjadilah perilaku menyimpang.
  4. Ikatan sosial yang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku menyimpang.
  5. Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku menyimpang). Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan yang menyimpang.

Faktor Penyebab

Faktor-faktor penyebab penyimpangan sosial
  • Faktor dari dalam adalah intelegensi atau tingkat kecerdasan, usia, jenis kelamin dan kedudukan seseorang dalam keluarga. Misalnya: seseorang yang tidak normal dan pertambahan usia.
  • Faktor dari luar adalah kehidupan rumah tangga atau keluarga, pendidikan di sekolah, pergaulan dan media massa. Misalnya: seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan atau narkoba. Pergaulan individu yang berhubungan teman-temannya, media massa, media cetak, media elektronik.

Bentuk

Bentuk-bentuk perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi dua, sebagai berikut.

Berdasarkan sifat

Bentuk penyimpangan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
  • Penyimpangan bersifat positif
Penyimpangan bersifat positif adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif ter-hadap sistem sosial karena mengandung unsur-unsur inovatif, kreatif, dan memperkaya wawasan seseorang. Penyimpangan seperti ini biasanya diterima masyarakat karena sesuai perkembangan zaman. Misalnya emansipasi wanita dalam kehidupan masyarakat yang memunculkan wanita karier.
  • Penyimpangan bersifat negatif
Penyimpangan bersifat negatif adalah penyimpangan yang bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dianggap rendah dan selalu mengakibatkan hal yang buruk seperti pencurian, perampokan, pelacuran, dan pemerkosaan.
Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif antara lain sebagai berikut:
·         Penyimpangan primer (primary deviation)
Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang yang hanya bersifat temporer dan tidak berulang-ulang. Misalnya seorang siswa yang terlambat masuk sekolah karena ban sepeda motornya bocor, seseorang yang menunda pembayaran pajak karena alasan keuangan yang tidak mencukupi, atau pengemudi kendaraan bermotor yang sesekali melanggar rambu-rambu lalu lintas.
·         Penyimpangan sekunder (secondary deviation)
Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang yang nyata dan seringkali terjadi, sehingga berakibat cukup parah serta menganggu orang lain. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk.

Berdasarkan pelakunya

Bentuk penyimpangan berdasarkan pelakunya, dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
  • Penyimpangan individual (individual deviation)
Penyimpangan individual adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang menyimpang dari norma-norma suatu kebudayaan yang telah mapan. Misalnya, seseorang bertindak sendiri tanpa rencana melaksanakan suatu kejahatan. Penyimpangan individu berdasarkan kadar penyimpangannya dibagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
  1. Pembandel, yaitu penyimpangan karena tidak patuh pada nasihat orang tua agar mengubah pendiriannya yang kurang baik.
  2. Pembangkang, yaitu penyimpangan karena tidak taat pada peringatan orang-orang.
  3. Pelanggar, yaitu penyimpangan karena melanggar norma-norma umum yang berlaku. Misalnya orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas pada saat di jalan raya.
  4. Perusuh atau penjahat, yaitu penyimpangan karena mengabaikan norma-norma umum sehingga menimbulkan kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya. Misalnya pencuri, penjambret, penodong, dan lain-lain.
  5. Munafik, yaitu penyimpangan karena tidak menepati janji, berkata bohong, berkhianat, dan berlagak membela.
  • Penyimpangan kelompok (group deviation)
Penyimpangan kelompok adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tunduk pada norma kelompok yang bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya, sekelompok orang menyelundupkan narkotika atau obat-obatan terlarang lainnya.
  • Penyimpangan campuran (combined deviation)
Penyimpangan seperti itu dilakukan oleh suatu golongan sosial yang memiliki organisasi yang rapi, sehingga individu ataupun kelompok didalamnya taat dan tunduk kepada norma golongan dan mengabaikan norma masyarakat yang berlaku. Misalnya, remaja yang putus sekolah dan pengangguran yang frustasi dari kehidupan masyarakat, dengan di bawah pimpinan seorang tokoh mereka mengelompok ke dalam organisasi rahasia yang menyimpang dari norma umum (geng).

Penggolongan Perilaku Menyimpang

  • Tindakan non-conform, yaitu tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku. Contohnya: mengenakan sandal jepit ke sekolah, meninggalkan jam-jam pelajaran, merokok di area larangan merokok, membuang sampah bukan pada tempatnya dan sebagainya.
  • Tindakan antisosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuk tindakan itu antara lain: menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman, keinginan untuk bunuh diri, minum-minumman keras, menggunakan narkotika, homoseksual dan lain-lain.
  • Tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Misalnya: pencurian, perampokan, perkosaan, pembunuhan, korupsi dan lain-lain.

 

Jenis-jenis Penyimpangan Sosial

Jenis-jenis penyimpangan sosial terdiri dari 4 jenis
  • Tawuran atau perkelahian antarpelajar
Perkelahian termasuk jenis kenakalan remaja akibat kompleksnya kehidupan kota yang disebabkan karena masalah sepele.
  • Penyalahgunaan narkotika, obat-obat terlarang dan minuman keras
Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa izin dengan tujuan hanya untuk memperoleh kenikmatan. Penyimpangan sosial yang timbul adalah pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan.
  • Hubungan seksual
Hubungan seks diluar nikah, pelacuran dan HIV/AIDS merupakan penyimpangan sosial karena menyimpang norma sosial maupun agama.
  • Tindak kriminalitas
Tindak kriminal adalah tindak kejahatan atau tindakan yang merugikan orang lain dan melanggar norma hukum, norma sosial dan norma agama. Misalnya: mencuri, menodong, menjambret, membunuh, dan lain-lain. Disebabkan karena masalah kesulitan ekonomi. Dan merupakan profesi atau pekerjaanya karena sulit mencari pekerjaan yang halal. Ada 5 jenis kejahatan:
  1. Kejahatan tanpa korban (crime without victim) adalah kejahatan yang tidak mengakibatkan penderitaan pada korban akibat tindak pidana orang lain. Contohnya berjudi, mabuk-mabukan, penyalahgunaan narkotika, dan sebagainya.
  2. Kejahatan terorganisir (organized crime) adalah pelaku kejahatan merupakan komplotan yang secara berkesinambungan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum. Contohnya komplotan korupsi, penyediaan jasa pelacur.
  3. Kejahatan kerah putih (white collar crime) adalah kejahatan yang mengacu pada kejahatan orang-orang terpandang atau berstatus tinggi. Contohnya korupsi, kolusi.
  4. Kejahatan kerah biru (blue collar crime) adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang golongan rendah. Contohnya mencuri jemuran, sandal di masjid dan sebagainya.
  5. Kejahatan korporat (corporate crime) adalah jenis kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Contohnya, suatu perusahaan membuang limbah beracun ke sungai yang mengakibatkan penduduk sekitar mengalami berbagai jenis penyakit.

 

Pencegahan Penyimpangan Sosial

Pencegahan penyimpangan sosial. Antara lain
  • Keluarga
Keluarga merupakan awal proses sosialisasi dan pembentukan kepribadian seorang anak. Kepribadian seorang anak akan terbentuk dengan baik apabila ia lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga yang baik begitu sebaliknya.
  • Lingkungan tempat tinggal dan teman sepermainan
Lingkungan tempat tinggal juga dapat mempengaruhi kepribadian seseorang untuk melakukan penyimpangan sosial. Seseorang yang tinggal dalam lingkungan tempat tinggal yang baik, warganya taat dalam melakukan ibadah agama dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik maka keadaan ini akan memengaruhi kepribadian seseorang menjadi baik sehingga terhindar dari penyimpangan sosial dan begitu juga sebaliknya.
  • Media massa
Media massa baik cetak maupun elektronik merupakan suatu wadah sosialisasi yang dapat mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pencegahan agar tidak terpengaruh akibat media massa adalah apbila kamu ingin menonton acara di televisi dengan memilih acara yang bernilai positif dan menghindari tayangan yang dapat membawa pengaruh tidak baik.

BAB III SOSIALISASI



Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Jenis sosialisasi
Keluarga sebagai perantara sosialisasi primer
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
  • Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
  • Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
  1. Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.

Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
  • Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
  • Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
  • Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
  • Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.'
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.'
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.

Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
  • Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
  • Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
  • Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
  • Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
·         Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
·         Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
·         Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

  • Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.